dr. Iskak dan Perjuangan Keberadaan Rumah Sakit di Tulungagung

Profil dr. Iskak TulungagungRumah sakit adalah sarana penting yang harus dimiliki di setiap daerah. Menurut WHO (World Health Organization) rasio ideal tentang keberadaan rumah sakit tidak bergantung pada jumlah rumah sakit yang ada disetiap negara tetapi berdasarkan daya tampungnya, secara spesifik disebutkan sebagai ketersediaan tempat tidur. WHO berpendapat setiap 1.000 penduduk sewajarnya tersedia 1 tempat tidur di rumah sakit. Sementara di Indonesia sendiri menurut beberapa sumber masih baru tersedia 6 tempat tidur bagi 10.000 penduduk atau setiap 1.000 penduduk tersedia 0,6 tempat tidur. Di Tulungagung terdapat beberapa rumah sakit yang satu diantaranya berstatus RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) yang memiliki nama resmi RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Berdiri dan dibantu dokter Belanda
RSUD Lama Tulungagung
Dinas Kesehatan Tulungagung
(RSUD Lama)
Pada zaman penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Tulungagung berobat kepada dukun atau orang yang dianggap pintar menyembuhkan orang sakit. Melihat kenyataan bahwa di Tulungagung belum ada Balai Pengobatan/Rumah Sakit maka pada tahun 1917 dokter Soeleman seorang dokter lulusan dari Belanda mengajukan izin kepada Inspektur Kesehatan Kolonial Belanda di Surabaya untuk mendirikan rumah sakit di Tulungagung. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan izin berdirinya rumah sakit dan pada tahun 1917 pula berdirilah Rumah Sakit Pemerintah Belanda di Tulungagung yang berlokasi di jalan Pahlawan, Tulungagung (Lokasi ini sekarang digunakan oleh Dinas Kesehatan Tulungagung). Kemudian dr, Soeleman diangkat menjadi pemimpin pertama rumah sakit.

Meskipun kondisi rumah sakit masih sederhana namun dapat menangani pasien yang terkena musibah dengan pengobatan seadanya. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari dr. Soeleman dibantu oleh dr. Vaers, dokter berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1928, dr. Vaers menjabat sebagai pimpinan rumah sakit setelah dr. Soeleman dipindahkan ke Jakarta. Jabatan tersebut diemban sampai akhir hayatnya ditahun 1939. Kemudian pimpinan rumah sakit berganti menjadi dr. Roestam.


Menjadi markas Pemerintah Jepang
Sekitar bulan Maret tahun 1942, Jepang mulai masuk ke wilayah Tulungagung. Gedung rumah sakit dijadikan Jepang sebagai markas pemerintah di Tulungagung sehingga kegiatan di rumah sakit berhenti total, Jepang juga memerintahkan seluruh dokter dan pegawai rumah sakit untuk berhenti bekerja dan meninggalkan wilayah Kabupaten Tulungagung. Pada bulan Agustus tahun 1942, rumah sakit dikembalikan fungsinya oleh pemerintah Jepang. Pimpinan rumah sakit juga beralih ke dr. Sudewo. Tahun 1945 seorang dokter swasta lulusan perguruan tinggi Belanda bernama dr. M. Salih ditunjuk menjadi pimpinan rumah sakit menggantikan dr. Sudewo.

dr. Iskak sang pemimpin dan masa nomaden rumah sakit
Pada akhir bulan Desember 1948 R. Moechtar Prabu Mangkunegoro, Bupati Tulungagung saat itu menunjuk dr. Iskak sebagai pimpinan baru rumah sakit. dr. Iskak adalah dokter kelahiran Tulungagung yang merupakan lulusan Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta. Ketika Agresi Militer Belanda tahun 1948-1949 Tulungagung termasuk dalam wilayah yang diduduki oleh Belanda, seluruh pasien dan pegawai rumah sakit beserta keluarganya diungsikan keluar kota. Selama tahun 1949, lokasi rumah sakit berpindah sebanyak sembilan kali dan akhirnya menetap di dekat Pantai Sine. Setelah tercapai perdamaian dengan Belanda pada akhir tahun 1949, lokasi rumah sakit akhirnya dikembalikan ke wilayah kota di Tulungagung.

Kekurangan dana di tahun 1950
Pantai di Tulungagung
Pantai Sine
Pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda, rumah sakit mengalami kendala dalam pendanaan serta sarana dan prasarana. Kekurangan dana untuk pengadaan peralatan medis, obat-obatan serta bahan makanan pasien terjadi karena dana tersebut hanyak diberikan oleh pemerintah satu kali dalam setahun, sehingga sisanya rumah sakit harus mandiri untuk mencukupi kebutuhan. 

Kondisi tersebut dibarengi dengan kondisi masyarakat yang memprihatinkan sehingga tidak mungkin untuk mengharapkan dana dari pasien. Dengan izin Bupati Tulungagung, lahan kehutanan digunakan sebagai lahan pertanian untuk rumah sakit. dr. Iskak kemudian mengajak masyarakat sekitar rumah sakit bekerja sama untuk menanam padi dan jagung dengan metode tumpang sari. Dengan cara tersebut rumah sakit dapat menghidupi 200 orang pegawai beserta keluarganya dan memenuhi kebutuhan makan pasien. 

Rumah sakit juga melakukan penyembelihan sapi sendiri, dimana daging sapi tersebut digunakan untuk lauk pauk pasien. Sebagian daging dijual ke masyarakat untuk menambah pemasukan. Selain itu, rumah membuat sabun sendiri yang terbuat dari abu dan minyak kelapa. 

Di masa itu mobil ambulans/jenazah tidak tersedia sehingga semua pengangkutan pasien dilakukan dengan di tandu/berjalan kaki. Sementara itu, obat-obatan yang tersedia di rumah sakit hanya Solfadiase, Kinine dan Perm Kalic.

Sumber : rsudtulungagung.com, kompas.com
Foto : rsudtulungagung.com, djavaprintertulungagung.wordpress.com, 

About Makelar Beras

Penulis berdarah dingin yang tinggal di Kabupaten Milano.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

12 komentar :